Abubo Ingin Berguru


Prajurit Abubo adalah salah satu pengawal raja. Ia terkenal kuat. Pukulannya dahsyat. Abubo suka menantang siapa saja untuk bertanding. Semakin sering ia menang, semakin sombong hatinya.
Hari ini, Abubo berjalan-jalan sekeliling istana. Seseorang tiba-tiba melintas begitu saja di depannya. Abubo terkejut. Tangannya melayang hendak memukul.
"Hei, jangan!" temannya, Prajurit Beiko, menahan tangan Abubo.
"Dia murid Umama," Beiko menjelaskan.
"Siapa Umama?" Abubo heran. Nama itu belum pernah didengarnya.
"Umama! masa kau tidak tahu? Dulu dia panglima yang terkenal kuat," Beiko mengcungkan dua jempolnya.
"Kuat mana denganku?" tanya Abubo penasaran.
"Umama tidak pernah kalah dalam adu tanding! Ia juga terkenal pemilih dalam menerima murid. Syaratnya berat!" jelas Beiko bersemangat.

Abubo kesal mendengar ucapan Beiko. Tidak terkalahkan, berarti Umama jauh lebih hebat dari Abubo. Beiko mengantarkan Abubo ke pondok Umama. Pondok yang kecil, tak istimewa. Umama juga biasa saja. Badannya memang tegap. Kulitnya legam, tetapi wajahnya ramah. Tidak segarang yang dibayangkan Abubo.
"Mungkin nanti malam kau bisa latihan," kata Umama.
Abubo senang bukan kepalang. Umama pasti sudah mendengar kehebatannya, sehingga langsung menerimanya. Tidak ada syarat berat seperti yang dikatakan Beiko.

Malam hari, Abubo muncul.
"Mari kita mulai dengan bercerita," kata Umama sambil duduk bersila. Mereka duduk berhadap-hadapan di halaman rumah Umama.
"Bercerita?" Abubo bingung.
"Ya, ceritakan apa yang kau lakukan seharian tadi. Jangan ada yang terlewatkan," jawab Umama.
Aha, mudah saja! Abubo menceritakan pertandingannya. Tentu bagian kehebatannya diceritakan dengan bangga. Umama mendengarkan tanpa menyela.
"Itulah semua yang terjadi hari ini," kata Abubo mengakhiri ceritanya.
"Kalau begitu pulanglah. Kau belum siap berlatih. Mungkin besok malam," kata Umama dengan tegas.
Abubo tentu saja heran. Ia tak mengerti apa yang salah.
"Ssst... Abubo, pulanglah!" itu suara Beiko. Ia muncul dari balik pohon di belakang Abubo.
"Kenapa? Tadi siang kata Umama aku bisa berlatih!" kata Abubo kesal.
"Dia bilang 'mungkin'," Beiko mengingatkan.
"Apa salahku?" tanya Abubo penasaran.
"Kau harus mencari sendiri salahmu!" kata Beiko sambil pergi. Abubo bingung sekali sekaligus jengkel. 

Namun, esok malamnya, Abubo datang lagi. Abubo bertekad, ia harus bisa berlatih pada Umama. Dan, jika disuruh cerita lagi malam ini, Abubo sudah siap.
"Apakah ada kejadian istimewa hari ini?" tanya Umama.
"Tidak ada," jawab Abubo hati-hati.
"Kau tidak bertugas?" tanya Umama lagi.
"Tidak, adku duduk-duduk saja. Saat bosan dan jenuh, aku tidur-tiduran," kata Abubo. Ia memang tidak menantang siapa pun. Ia takut kesombongannya akan muncul jika menang. Sepertinya Umama tidak suka dengan sikapnya itu.
"Pulanglah, kau masih belum siap!" kata Umama. Abubo benar-benar tidak mengerti. Apa lagi salahnya  malam ini?

Esok harinya, Abubo tidak bersemangat. Ia sangat ingin menjadi murid Umama. Tetapi dua malam berturut-turut Umama selalu mengusirnya tanpa memberi tahu alasannya.
"Ikut aku," ajak Beiko.
"Ke mana?" tanya Abubo sambil memacu kudanya. Beiko diam saja. Mereka menuju pasar.
Di pasar, tidak ada kejadian hebat. Abubo dan Beiko hanya melakukan bebrapa hal kecil. Membantu mendorong gerobag yang terperosok. Mengangkat sayur-sayuran seorang laki-laki tua ke atas keledainya. Menjagakan kios buah yang ditinggalkan pemiliknya sebentar dan menguburkan kucing liar yang mati. Semua itu Abubo lakukan dengan terpaksa, karena Beiko memintanya.

"Nanti malam, Umama pasti memintaku bercerita lagi," keluh Abubo.
"Ceritakan saja semuanya," kata Beiko santai.
"Apa istimewanya? Kita hanya melakukan pekerjaan remeh sepanjang siang ini," sanggah Abubo.
"Biar remeh, asal berguna bagi orang lain. Apa hebatnya melakukan hal besar hanya agar bisa menyombongkan diri?" tangkis Beiko.
 Abubo melaksanakan nasihat Beiko. Malam hari, ia ceritakan kepada Umama. Walau tidak sesemangat malam sebelumnya, Abubo menyampaikan pengalamannya dengan lengkap.

"Nah, Abubo, kau kuterima. Pulanglah dulu. Besok malam kita mulai berlatih," janji Umama.
Oh, oh, sungguh diluar dugaan! Abubo hampir melonjak karena senangnya.
Abubo pulang dengan semangat. Ia percaya, besok, besoknya, dan besoknya lagi Umama pasti melatihnya. Kini Abubo mengerti maksudnya. Umama mau menerima jika Abubo benar-benar siap. Siap menjadi murid yang tidak sombong walaupun kuat. Abubo menyadari, tak ada gunanya kekuatan jika tidak digunakan untuk kebaikan. Bukankan begitu?    

Kolam Permintaan


Dahulu kala, ada seorang pencuri yang dangat licik dan pemberani. Ia selalu melakukan pencurian seorang sendiri. Tidak pernah membawa teman. Suatu ketika, saat sedang mencuri di rumah Saudagar Abi, pencuri itu nyaris tertangkap. Namun ia segera lari secepat kilat sambil membawa emas dan permata di dalam kantong. Si Saudagar Abi tak sempat berbuat apa-apa.

Pencuri itu berlari, dan terus berlari tanpa arah dan tujuan. Ketika kakinya terasa lelah, barulah ia berjalan perlahan-lahan. Langkahnya baru berhenti saat tiba di tepi kolam yang sangat besar. Fi dekat kolam, pencuri itu melihat pemandangan yang sangat aneh. Beberapa orang terlihat melemparkan uang logam sambil meyebutkan suatu permintaan. 

"Kenapa oramg-orang ini melemparkan uang logam ke kolam?" tanya pencuri pada seseorang di tempat itu. 
"Uang itu untuk derma kepada dewa, agar permintaan mereka dikabulkan. Kolam ini adalah Kolam Permintaan," jawab orang itu.

"Sudah berapa lama orang-orang memberi derma kepada dewa dengan melemparkan uang logam ke kolam?"
"Entahlah. Mungkin sudah puluhan, atau bahkan ratusan tahun. Dan bukan hanya uang logam yang dijadikan derma, tapi juga emas permata."

Mendengar jawaban orang itu, timbul akal licik di benak pencuri. Ketika hari menjelang malam, tempat itu mrnjadi sepi. Tidak ada seorangpun di sana. Si pencuri menceburkan diri ke dalam Kolam Permintaaan. Ia terus menyelam hingga di dasar kolam. Tangannya merab-raba dasar kolam, mencari uang logam serta emas permata.

Tentu saja usahanya itu berhasil. Setiap kali kepalanya muncul di permukaan air, tangan pencuri itu selalu menggenggam benda-benda berharga. Itu membuatnya semakin bersemangat lagi untuk terus menyelam.

Sementara itu, tak jauh dari kolam permintaan, tampaklah Saudagar Abi. Ia membawa bebrapa pengawalnya untuk mengejar pencuri hartanya. 
"Hari sudah malam, dimana kita bisa beristirahat dengan tenang dan aman?" tanya Saudagar Abi pada salah satu pengawalnya.

"Di Kolam Permintaan, Tuan. Disana tempatnya indah, serta aman dari ganggguan binatang buas. Selain itu, Tuan bisa meminta kepada dewa lewat Kolam Permintaan itu," kata prajurit.
"Benarkah dewa bisa mengabulkan permintaanku melalui kolam itu?"
"Asalkan Tuan mau mendermakan barang milik Tuan. Lemparkan saja derma ke tengah kolam. Siapa tahu dewa mengabulkan permintaan Tuan.

Saudagar Abi penasaran mendengar penjelasan prajurit itu. Begitu tiba di tepi kolam permintaan, Saudagar Abi melemparkan sisa uang yang ada di kantongnya. Di bawah sinar bulan purnama, Saudagar Abi menyampaikan permintaannya kepada dewa.

"Wahai Dewa yang agung, sudah seharian hamba mengejar pencuri yang mengambil harta hamba. Namun hingga malam ini, belum juga hamba temukan. Tolong berikan petunjuk agar hamba dapat menangkap pencuri itu," pinta Saudagar Abi.

Begitu selesai mengucapkan permintaan, tiba-tiba ada sesuatu yang muncul di permukaan air kolam. Itu ada kepala si pencuri yang baru saja menyelam mengambil harta benda dari dasar kolam. Betapa terkejutnya si pencuri. Di tepi kolam tampak berdiri Saudagar Abi bersama barisan pengawalnya.

Tanpa kesulitan pengawal Saudagar Abi berhasil menangkap pencuri itu. 
"Kolam ini sungguh ajaib. Tidak salah bila orang-orang menamakannya Kolam Permintaan," gumam Saudagar Abi dengan takjub.    

Cerita Burung


Tam dan Dik Tupai bersahabat sejak dulu. Masing-masing memiliki rumah mungil diatas pohon kelapa yang berdampingan. Setiap hari mereka saling mengunjungi dan berbagi apa saja yang mereka miliki. Suatu hari seekor burung hinggap diatas daun kelapa. Burung itu berkicau nyaring, "Siapa yang tahu, dua makhluk penuh bulu, berteman tapi saling punya rahasia, cit-cit-cuit...."

Tam Tupai memasang telinga. Apakah dua makhluk itu aku dan Dik? Pikirnya dalam hati. Cepat-cepat ia keluar. Tetapi burung itu terbang ke pohon kelapa di sampingnya. Disitu ia bernyanyi, "Aku punya cerita, dua makhluk berteman lama, saling percaya tapi punya rahasia, cit-cit-cuit...."

Dik Tupai yang sedang bersiul di dalam rumah menjadi terdiam.
"Siapa itu?" tanyanya sambil melongok ke jendela. "Apakah maksudmu aku dan...."
Namun burung itu telah terbang tinggi. Dik Tupai menoleh ke arah rumah Tam. Saat itu Tam sedang memandanginya.

"Diam-diam kau punya rahasia, ya?" teriak Tam Tupai.
"Enak saja! Kau yang punya rahasia!" seru Dik Tupai marah.
"Mungkin tidak adil membagi kenari yang kita kumpulkan bersama! Pasti bagianmu lebih banyak!" Tam Tupai melompat ke rumah Dik.

Dik Tupai tak kalah cepat melompat ke rumah Tam sambil berseru, "Jangan-jangan kau menemukan harta karun, dan merahasiakannya padaku!"
Prang.... Duk.... Plak! Terdengar suara gaduh di kedua rumah mereka. Masing-masing tupai menggeledah rumah tupai lainnya. Namun tak ada benda istimewa yang mereka temukan.

"Dimana kau sembunyikan?" teriak kedua tupai berbarengan. Secepat kilat keduanya berlari turun dan bergumul di tanah.
"Aduh..." jerit Tam Tupai.
"Aow...." teriak Dik Tupai.
"Kita tak bisa terus berkelahi," sungut Tam Tupai setelah terbebas dari jepitan Dik. "Kita harus menyelasaikan masalah ini baik-baik. Terus terang, jumlah kenari di rumahmu sama banyak dengan kenari di rumahku."

"Yah, aku juga tidak melihat harta karun di rumahmu," sahut Dik Tupai. "Seandainya kau menemukan harta karun, pasti kau memerlukan bantuanku untuk mengangkatnya ke atas."
"Berarti cerita burung itu bohong!"
"Atau kita salah duga! dua makhluk itu bukan kita!"

"Ha-ha-ha!" Tam dan Dik tertawa. Mereka kembali naik ke atas pohon untuk merapikan rumah yang berantakan. Kedua tupai itu berjanji akan makan siang bersama.   

Surat Yang Terlupakan


Raden Panji punya kebiasaan buruk. Ia sering melalaikan hal-hal penting. Patih Banyu Urip menjadi khawatir memikirkan kerajaan Gunung Wukir itu. Suatu hari, datang utusan Raja Urang Garing membawa sepucuk surat. Raden Panji meletakkan surat itu begitu saja di meja istana tanpa dibaca dulu.

"Sampaikan kepada rajamu, aku akan segera membalas surat ini," ujarnya singkat pada utusan itu. Akan tetapi sampai beberapa hari surat itu tidak dibuka juga. Patih Banyu Urip berulang kali mengingatkan Raden Panji untuk segera membalas surat itu.

"Ah, paling-paling isinya hanya undangan pesta, seperti surat-surat raja yang lain," begitu jawab Raden Panji.
Sebenarnya Patih Banyu Urip ingin membuka surat itu dan membaca isinya. Namun lancang namanya jika membuka surat itu tanpa seizin raja. Ketika datang, wajah utusan Raja Urang Garing tampak serius. Pasti isi surat itu penting. Apalagi Raja Urang Garing bukanlah raja yang berhati baik. Pasti ada maksud yang jelek di dalam surat itu. Begitu pikir Patih Banyu Urip.

Kecemasan Patih Banyu Urip menjadi kenyataan. Disaat penduduk kerajaan Gunung Wukir sedang bersantai, pasukan Raja Urang Garing menyerbu. Pasuka Raden Panji yang tidak siap itu dengan mudah bisa dikalahkan. Kerajaan Gunung Wukir pun jatuh ke tangan Raja Urang Garing.

Untunglah Patih Banyu Urip selalu siaga. Ia berhasil menyelamatkan Raden Panji dan beberapa penghuni istana. Mereka bersembunyi di ruang bawah tanah di rumah seorang penduduk. Patih Banyu Urip telah jauh-jauh hari menyiapkan pembangunan itu.

Raden Panji terlihat sedih. Ia diam membisu di sudut ruangan.
"Patih, aku tidak mengira Raja Urang Garing akan menyerbu kita. Mengapa mereka tidak mengirim surat tantangan dulu?" keluh Raden Panji.

"Raden, surat yang dulu dibawa utusan Raja Urang Garing, belum Raden buka sama sekali mungkin surat itu berisi pemberitahuan penyerbuan ini."
"Dimana surat itu sekarang, Patih?" tanya Raden Panji tegang. 
"Ini Raden. Saya mengambilnya dari meja Raden ketika penyerbuan terjadi," Patih Banyu Urip mentodorkan sepucuk surat lusuh tetapi belum terbuka. Radem Panji merobek amplop surat itu dan bergegas membaca isinya.

Raden Panji yang terhormat, saya inigin menantang anda untuk berperang. Segera jawab tantangan saya ini. Jika dalam waktu satu bulan tidak ada jawaban, berarti anda menerima tantangan ini.
Hormat saya, Raja Urang Garing.

Raden Panji lemas. Semua ini terjadi akibat kelalainya. Padahal sebagai raja ia harus bertanggung jawab akan nasib kerajaanya .

Kini ia harus bekerja keras dan mencari siasat untuk mengambil alih kembali kerajaanya. Dalam hati Raden Panji bersyukur, sebab masih ada Patih Banyu Urip yang setia disisinya.  

Ayam dan Ular


Pak Kabar adalah seorang tukang kayu. Suatu hari ia menemukan dua butir telur di hutan. Kedua telur itu lalu disimpannya di dalam rongga sebuah pohon besar. Beberapa minggu kemudian kedua butir telur menetas. Ternyata yang satu anak ayam, dan satu lagi anak ular. Kedua hewan itu hidup rukun dan tumbuh bersama.

Ketika mulai dewasa, mereka tetap tak mau berpisah. Bahkan saat mereka harus bertelur. Ayam dan ular itu menaruh telur-telur mereka di satu tempat, dan dierami bergantian. Pada siang hari, Ayam mencari makan, Ular mengerami telur. Sebaliknya, di malah hari Ayam mengerami telur, dan Ular mencari makanan.

Pada mulanya semua berjalan dengan baik. Akan tetapi, pada suatu malam Ular tidak menemukan seekor tikus atau kodok untuk dimakannya. Pagi harinya ia pulang ke sarang dalam keadaan lapar. Saat itu, Ayam telah pergi mencari makan. Biasanya Ular akan segera mengerami telur. Namun karena perutnya lapar, ia tak tahan melihat telur-telur Ayam yang hangat dan segar. Tanpa pikir panjang, Ular menelan sebutir telur Ayam.

Sore hari ketika Ayam pulang, ia terkejut karena telurnya kurang satu.
"Maaf Ayam. Tadi ada musang mencuri telur Ayam. Ia sudah malas berburu mangsa. Telur-telur Ayam ternyata lebih nikmat daripada daging kodok atau tikus. Sore berikutnya Ayam kembali kaget. Telurnya berkurang lagi satu. Ular pun berbohong lagi. Katanya ia diserang tiga ekor musang. Kejadian itu berulang terus, sampai akhirnya telur Ayam tinggal sebutir.   

Pagi berikutnya, sebelum pergi, Ayam berpesan pada Ular agar sebutir telurnya dijaga baik-baik. Namun, belum jauh Ayam berjalan, mendadak ia berpikir untuk membawa telurnya agar lebih aman. Betapa terkejutnya Ayam ketika tiba disarangnya. Tampak olehnya Ular sedang berusaha menelan telurnya bulat-bulat Ular pun  sangat panik begitu melihat Ayam tiba-tiba muncul dihadapannya. Ia tak mungkin mengeluarkan telur yang sudah sebagian besar masuk ke mulutnya. Ia juga tak mungkin untuk menelan telur itu sekaligus.

Ayam sangat geram kemarahannya tak dapat ditahan lagi. Ia mengamuk mengobrak-abrik sarang itu. Juga mematuk semua telur Ular hingga pecah. Saat semua telur berhasil di telan, Ular berteriak marah, "Hai Ayam! Mulai sekarang, semua telur dan keturunanmu akan menjadi santapan keturunanku!".

Ayam segera lari jauh-jauh. Ia percaya Ular tidak main-main. Sejak itu Ayam selalu berpesan kepada setiap keturunannya, agar berhati-hati jika mereka mendengar suara mendesis.

Sampai sekarang, jika ada suara yang mendesis... sssss... sssss... ayam-ayam pasti gaduh seakan memberi tahu yang lain agar waspada.   

Si Pitung


Pitung adalah salah satu pendekar orang asli Indonesia berasal dari daerah betawi yang berasal dari kampung Rawabelong Jakarta Barat. Pitung dididik oleh kedua orang tuanya berharap menjadi orang saleh taat agama. Ayahnya Bang Piun dan Ibunya Mpok Pinah menitipkan Si Pitung untuk belajar mengaji dan mempelajari bahasa Arab kepada Haji Naipin.
 
Setelah dewasa Si Pitung melakukan gerakan bersama teman-temannya karena ia tidak tega melihat rakyat-rakyat yang miskin. Untuk itu ia bergerilya untuk merampas dan merampok harta-harta masyarakat yang hasil rampasannya ini dibagikan kepada rakyat miskin yang memerlukannya.
Selain itu Pitung suka membela kebenaran dimana kalau bertemu dengan para perampas demi kepentingannya sendiri maka sama Si Pitung akan dilawan dan dari semua lawannya Pitung selalu unggul.
 
Gerakan Pitung semakin meluar dan akhirnya kompeni Belanda yang saat itu memegang kekuasan di negeri Indonesia melakukan tindakan terhadap Si Pitung. Pemimpin polisi Belanda mengerahkan pasukannya untuk menangkap Si Pitung, namun berkali-kali serangan tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Pitung selalu lolos dan tidak mudah untuk ditangkap oleh pasukan Belanda. Ditambah-tambah Si Pitung mempunyai ilmu kebal terhadap senjata tajam dan sejata api.
Kompeni Belanda pun tidak kehilangan akal, pemimpin pasukan Belanda mencari guru Si Pitung yaitu Haji Naipin. Disandera dan ditodongkan sejata ke arah Haji Naipin agar memberikan cara melemahkan kesaktian Si Pitung, akhirnya Haji Naipin menyerah dan memberitahu kelemahan-kelemahan Si Pitung.
 
Pada suatu saat, Belanda mengetahui keberadaan Si Pitung dan langsung menyergap dan menyerang secara tiba-tiba. Pitung mengadakan perlawan, dan akhirnya Si Pitung tewas karena kompeni Belanda sudah mengetahui kelemahan Si Pitung dari gurunya Haji Naipin.

Roro Jonggrang


Alkisah pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar yang bernama Prambanan. Rakyat Prambanan sangat damai dan makmur di bawah kepemimpinan raja yang bernama Prabu Baka. Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah sekitar Prambanan juga sangat tunduk dan menghormati kepemimpinan Prabu Baka.

Sementara itu di lain tempat, ada satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan kerajaan Prambanan, yakni kerajaan Pengging. Kerajaan tersebut terkenal sangat arogan dan ingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging mempunyai seorang ksatria sakti yang bernama Bondowoso. Dia mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung, sehingga Bondowoso terkenal dengan sebutan Bandung Bondowoso. Selain mempunyai senjata yang sakti, Bandung Bondowoso juga mempunyai bala tentara berupa Jin. Bala tentara tersebut yang digunakan Bandung Bondowoso untuk membantunya untuk menyerang kerajaan lain dan memenuhi segala keinginannya.

Hingga Suatu ketika, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung Bondowoso. Raja Pengging itu kemudian memerintahkan Bandung Bondowoso untuk menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso memanggil balatentaranya yang berupa Jin untuk berkumpul, dan langsung berangkat ke Kerajaan Prambanan.

Setibanya di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana Prambanan. Prabu Baka dan pasukannya kalang kabut, karena mereka kurang persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso berhasil menduduki Kerajaan Prambanan, dan Prabu Baka tewas karena terkena senjata Bandung Bondowoso.

Kemenangan Bandung Bondowoso dan pasukannya disambut gembira oleh Raja Pengging. Kemudian Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati Istana Prambanan dan mengurus segala isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.

Pada saat Bandung Bondowoso tinggal di Istana Kerajaan Prambanan, dia melihat seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita tersebut adalah Roro Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Saat melihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tanpa berpikir panjang lagi, Bandung Bondowoso langsung memanggil dan melamar Roro Jonggrang.

“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah seandainya dikau menjadi permaisuriku?”, Tanya Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang.

Mendengar pertanyaan dari Bandung Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang hanya terdiam dan kelihatan bingung. Sebenarnya dia sangat membenci Bandung Bondowoso, karena telah membunuh ayahnya yang sangat dicintainya. Tetapi di sisi lain, Roro Jonggrang merasa takut menolak lamaran Bandung Bondowoso. Akhirnya setelah berfikir sejenak, Roro Jonggrang pun menemukan satu cara supaya Bandung Bondowoso tidak jadi menikahinya.

“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi setelah kamu memenuhi satu syarat dariku”,jawab Roro Jonggrang.

“Apakah syaratmu itu Roro Jonggrang?”,Tanya Bandung Bandawasa.

“Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam”, Jawab Roro Jonggrang.

Mendengar syarat yang diajukan Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso pun langsung menyetujuinya. Dia merasa bahwa itu adalah syarat yang sangat mudah baginya, karena Bandung Bondowoso mempunyai balatentara Jin yang sangat banyak.

Pada malam harinya, Bandung Bandawasa mulai mengumpulkan balatentaranya. Dalam waktu sekejap, balatentara yang berupa Jin tersebut datang. Setelah mendengar perintah dari Bandung Bondowoso, para balatentara itu langsung membangun candi dan sumur dengan sangat cepat.

Roro Jonggrang yang menyaksikan pembangunan candi mulai gelisah dan ketakutan, karena dalam dua per tiga malam, tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur saja yang belum mereka selesaikan.

Roro Jonggrang kemudian berpikir keras, mencari cara supaya Bandung Bondowoso tidak dapat memenuhi persyaratannya.

Setelah berpikir keras, Roro Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia akan membuat suasana menjadi seperti pagi,sehingga para Jin tersebut menghentikan pembuatan candi.

Roro Jonggrang segera memanggil semua dayang-dayang yang ada di istana. Dayang-dayang tersebut diberi tugas Roro Jonggrang untuk membakar jerami, membunyikan lesung, serta menaburkan bunga yang berbau semerbak mewangi.

Mendengar perintah dari Roro Jonggrang, dayang-dayang segera membakar jerami. Tak lama kemudian langit tampak kemerah merahan, dan lesung pun mulai dibunyikan. Bau harum bunga yang disebar mulai tercium, dan ayam pun mulai berkokok.

Melihat langit memerah, bunyi lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka balatentara Bandung Bondowoso mulai pergi meninggalkan pekerjaannya. Mereka pikir hari sudah mulai pagi, dan mereka pun harus pergi.

Melihat Balatentaranya pergi, Bandung Bondowoso berteriak: “Hai balatentaraku, hari belum pagi. Kembalilah untuk menyelesaikan pembangunan candi ini !!!”

Para Jin tersebut tetap pergi, dan tidak menghiraukan teriakan Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso pun merasa sangat kesal, dan akhirnya menyelesaikan pembangunan candi yang tersisa. Namun sungguh sial, belum selesai pembangunan candi tersebut, pagi sudah datang. Bandung Bondowoso pun gagal memenuhi syarat dari Roro Jonggrang.

Mengetahui kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang lalu menghampiri Bandung Bondowoso. “Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung Bondowoso”, kata Roro Jonggrang.

Mendengar kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso sangat marah. Dengan nada sangat keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang Roro Jonggrang. Sebenarnya engkaulah yang menggagalkan pembangunan seribu candi ini. Oleh karena itu, Engkau aku kutuk menjadi arca yang ada di dalam candi yang keseribu !”

Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah menjadi arca/patung. Wujud arca tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam kompleks candi Prambanan, dan nama candi tersebut dikenal dengan nama candi Roro Jonggrang. Sementara candi-candi yang berada di sekitarnya disebut dengan Candi Sewu atau Candi Seribu.