Prajurit Abubo adalah salah satu pengawal raja. Ia terkenal kuat. Pukulannya dahsyat. Abubo suka menantang siapa saja untuk bertanding. Semakin sering ia menang, semakin sombong hatinya.
Hari ini, Abubo berjalan-jalan sekeliling istana. Seseorang tiba-tiba melintas begitu saja di depannya. Abubo terkejut. Tangannya melayang hendak memukul.
"Hei, jangan!" temannya, Prajurit Beiko, menahan tangan Abubo.
"Dia murid Umama," Beiko menjelaskan.
"Siapa Umama?" Abubo heran. Nama itu belum pernah didengarnya.
"Umama! masa kau tidak tahu? Dulu dia panglima yang terkenal kuat," Beiko mengcungkan dua jempolnya.
"Kuat mana denganku?" tanya Abubo penasaran.
"Umama tidak pernah kalah dalam adu tanding! Ia juga terkenal pemilih dalam menerima murid. Syaratnya berat!" jelas Beiko bersemangat.
Abubo kesal mendengar ucapan Beiko. Tidak terkalahkan, berarti Umama jauh lebih hebat dari Abubo. Beiko mengantarkan Abubo ke pondok Umama. Pondok yang kecil, tak istimewa. Umama juga biasa saja. Badannya memang tegap. Kulitnya legam, tetapi wajahnya ramah. Tidak segarang yang dibayangkan Abubo.
"Mungkin nanti malam kau bisa latihan," kata Umama.
Abubo senang bukan kepalang. Umama pasti sudah mendengar kehebatannya, sehingga langsung menerimanya. Tidak ada syarat berat seperti yang dikatakan Beiko.
Malam hari, Abubo muncul.
"Mari kita mulai dengan bercerita," kata Umama sambil duduk bersila. Mereka duduk berhadap-hadapan di halaman rumah Umama.
"Bercerita?" Abubo bingung.
"Ya, ceritakan apa yang kau lakukan seharian tadi. Jangan ada yang terlewatkan," jawab Umama.
Aha, mudah saja! Abubo menceritakan pertandingannya. Tentu bagian kehebatannya diceritakan dengan bangga. Umama mendengarkan tanpa menyela.
"Itulah semua yang terjadi hari ini," kata Abubo mengakhiri ceritanya.
"Kalau begitu pulanglah. Kau belum siap berlatih. Mungkin besok malam," kata Umama dengan tegas.
Abubo tentu saja heran. Ia tak mengerti apa yang salah.
"Ssst... Abubo, pulanglah!" itu suara Beiko. Ia muncul dari balik pohon di belakang Abubo.
"Kenapa? Tadi siang kata Umama aku bisa berlatih!" kata Abubo kesal.
"Dia bilang 'mungkin'," Beiko mengingatkan.
"Apa salahku?" tanya Abubo penasaran.
"Kau harus mencari sendiri salahmu!" kata Beiko sambil pergi. Abubo bingung sekali sekaligus jengkel.
Namun, esok malamnya, Abubo datang lagi. Abubo bertekad, ia harus bisa berlatih pada Umama. Dan, jika disuruh cerita lagi malam ini, Abubo sudah siap.
"Apakah ada kejadian istimewa hari ini?" tanya Umama.
"Tidak ada," jawab Abubo hati-hati.
"Kau tidak bertugas?" tanya Umama lagi.
"Tidak, adku duduk-duduk saja. Saat bosan dan jenuh, aku tidur-tiduran," kata Abubo. Ia memang tidak menantang siapa pun. Ia takut kesombongannya akan muncul jika menang. Sepertinya Umama tidak suka dengan sikapnya itu.
"Pulanglah, kau masih belum siap!" kata Umama. Abubo benar-benar tidak mengerti. Apa lagi salahnya malam ini?
Esok harinya, Abubo tidak bersemangat. Ia sangat ingin menjadi murid Umama. Tetapi dua malam berturut-turut Umama selalu mengusirnya tanpa memberi tahu alasannya.
"Ikut aku," ajak Beiko.
"Ke mana?" tanya Abubo sambil memacu kudanya. Beiko diam saja. Mereka menuju pasar.
Di pasar, tidak ada kejadian hebat. Abubo dan Beiko hanya melakukan bebrapa hal kecil. Membantu mendorong gerobag yang terperosok. Mengangkat sayur-sayuran seorang laki-laki tua ke atas keledainya. Menjagakan kios buah yang ditinggalkan pemiliknya sebentar dan menguburkan kucing liar yang mati. Semua itu Abubo lakukan dengan terpaksa, karena Beiko memintanya.
"Nanti malam, Umama pasti memintaku bercerita lagi," keluh Abubo.
"Ceritakan saja semuanya," kata Beiko santai.
"Apa istimewanya? Kita hanya melakukan pekerjaan remeh sepanjang siang ini," sanggah Abubo.
"Biar remeh, asal berguna bagi orang lain. Apa hebatnya melakukan hal besar hanya agar bisa menyombongkan diri?" tangkis Beiko.
Abubo melaksanakan nasihat Beiko. Malam hari, ia ceritakan kepada Umama. Walau tidak sesemangat malam sebelumnya, Abubo menyampaikan pengalamannya dengan lengkap.
"Nah, Abubo, kau kuterima. Pulanglah dulu. Besok malam kita mulai berlatih," janji Umama.
Oh, oh, sungguh diluar dugaan! Abubo hampir melonjak karena senangnya.
Abubo pulang dengan semangat. Ia percaya, besok, besoknya, dan besoknya lagi Umama pasti melatihnya. Kini Abubo mengerti maksudnya. Umama mau menerima jika Abubo benar-benar siap. Siap menjadi murid yang tidak sombong walaupun kuat. Abubo menyadari, tak ada gunanya kekuatan jika tidak digunakan untuk kebaikan. Bukankan begitu?
Labels:
Dongeng